Divonis 6 Tahun, Neneng Akan Ajukan Banding

Terdakwa kasus dugaan korupsi proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Neneng Sri Wahyuni (jilbab) divonis 6 tahun

Terdakwa korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Neneng Sri Wahyuni akan mengajukan banding. Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menvonis istri Muhammad Nazaruddin itu dengan hukuman enam tahun penjara.

Pengacara Neneng, Rufinus Hutahuruk mengaku belum mempelajari isi putusan atas kliennya itu karena salinan putusannya belum ia terima. Meski begitu, dia menilai vonis enam tahun penjara sudah kelewatan. Padahal proses persidangan selama ini terbuka.

"Neneng ini siapa sih, apa dia bisa mempengaruhi menteri, pejabat pemerintahan. Coba dilihatlah. Ini kan penegakan hukum yang sudah tidak benar. Kemana struktur hukum keadilannya?" ujar Rufinus.

"Saya senang korupsi diberantas, tapi jangan balas dendam. Putusan ini saya lihat sangat tendesius," lanjutnya.

Di samping itu, Rufinus juga mempersoalkan keputusan majelis yang menyatakan bisa memutuskan perkara tanpa dihadirkan terdakwa. Menurutnya, sidang putusan kemarin, Neneng hadir di persidangan, bukan berhalangan. 

"Neneng hadir tapi sakit. Ini kan berbeda, kok gitu. Hakim ini kan katanya wakil Tuhan bukan wakil KPK saja."

Diberitakan sebelumnya, Majelis juga memerintahkan Neneng untuk membayar uang pengganti sebesar Rp800 juta. Dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu satu bulan tidak dibayarkan, maka hartanya akan disita atau dilelang untuk negara. Apabila tidak memenuhi, dipidana penjara selama satu tahun.

Majelis mengatakan terdakwa Neneng Sri Wahyuni bersama suaminya M Nazaruddin memerintahkan Mindo Rosalina Manulang, dan Marisi Matondang untuk meminjam bendera ke PT Mahkota Negara, PT Nuratindo dan PT Alfindo Nuratama untuk mengikuti lelang proyek PLTS senilai Rp8,930 miliar. Untuk perusahaan yang dipinjam disepakati akan memperoleh 0,5 persen dari nilai kontrak apabila jadi pemenang.

Terdakwa selaku Direktur Keuangan PT Anugrah Nusantara juga telah memerintahkan Marisi Matondang untuk membuat draft kontrak proyek PLTS, kemudian dilakukan tanda tangan surat perjanjian pengadaan, pemasangan pada 22 September 2008, sebesar Rp8.741.662.600 antara Timas Ginting selaku PPK dan Arifin Ahmad selaku Direktur Alfindo Nuratama Perkasa.

Di tengah jalan, terdakwa mengarahkan Mindo Rosalina untuk mengalihkan seluruh pekerjaan utama pemasangan PLTS yang harusnya dilakukan PT Alfindo ke PT Sundaya. Dengan rincian kontrak senilai Rp5.274.604.800. Selanjutnya terdakwa perintahkan Yulianis melakukan pembayaran bertahap ke PT Sundaya sebagai realisasi pengalihan pekerjaan utama PLTS sebesar Rp5.274.604.800. Selebihnya diberikan kepada Arifin Ahmad Rp40 juta sebagai realisasi pemberian fee atas peminjaman berkas PT Alfindo. 

Bahkan lebih lanjut majelis menyatakan, terdakwa pernah mengaku telah memerintahkan karyawan PT Alfindo untuk mencairkan cek dalam pelaksanaan PLTS, mulai dari pengadaan dan pemasangannya dilakukan PT Sundaya, Perlengakapan administrasi dilakukan Marisi, kontrak antara PT Sundaya dan PT Afindo senilai Rp5,2 miliar.

"Dari fakta tersebut, majelis menilai terdakwa mengetahui adanya pengadaan PLTS, terdakwa membiayai dengan memberikan uang Rp2 miliar, negosiasi teknik pembayaran dengan PT Sundaya," ujar hakim anggota, Made Hendra.